Postingan

(CERPEN) 2920 Hari

Gambar
  Oleh : Kholis Kurnia Wati                         Langit abu-abu bergemuruh, berseru bersama angin mendayu-dayukan ribuan tetes air yang luruh dari langit. Banyak orang menyebutnya sebagai Rahmat Tuhan. Ada juga yang mengatakan itu sebuah kesialan. Monolog-monolog manusia memang membingungkan. Seperti langit abu-abu tak menentu.             Gemercik luruhan tangis sang langit tak hanya menyerbak sebagai berkan ataupun kesialan. Bagi dua orang yang saling tatap di beranda kedai kopi, hujan menjadi penyelamat keduanya dari keheningan. Setidaknya rasa cangung diantara keduanya berkurang sebab berhantamnya air hujan dengan tanah seperti memori klasik yang terulang kembali. Namun dengan situasi yang beda. Jantung yang tak lagi berdebar. Gugup yang tak lagi menghantam dan juga gemetar yang tak lagi menjadi alasan. Mata hitam pekat yang dulu hangat kini hanya tinggal kehampaan dan sangat dingin.             Sesekali mereka menghela napas kemudia saling pandang. Berharap gemuruh ketika

(PUISI) Surat yang Tak Pernah Ibu Baca

Gambar
  Oleh : Kholis Kurnia Wati Kertas usang dan arloji tua itu masih terpapar Dalam dingin dan suramnya malam Ini adalah kata keseratus dari surat   penyesalan Surat kegagalan yang tak pernah tersampaikan Surat penuh mimpi yang pada akhirnya terabaikan Terdengar menyakitkan namun juga   memilukan Kutumpahkan pena pada seluruh kertas buram Penuh air mata dan ketidakmampuan Asa yang ku ingini kini hanya tinggal kertas usang Ini perihal penyesalan akibat kebodohan Surat ini, surat yang tak pernah tersampaikan Sebab tidak adanya keberanian Surat yang tak pernah sampai pada rumahnya Surat penyesalan, Surat yang tak pernah ibu baca NB: Puisi ini pernah dimuat dalam buku antologi puisi "Kado Untuk Ibu" pada November 2020

(PUISI) Jangan Menua, Bu

Gambar
  Oleh : Kholis Kurnia Wati Hingar bingar kota tua terasa hampa Tanpa sajak menggigil jiwa Hingga maras merampas asa Dunia kini terasa ambigu, bu Mengingat aku tidak tahu-menahu bagaimana semesta Cukup bingung dengan ambisi aneh manusia Sangat lemah ketika menerka perkara Dunia kini terasa pilu, bu Bagaimana cara waktu berputar begitu menyakitkan Bagaimana mentari berpindah semakin menyilaukan Dan yang ku minta selalu pada Tuhan Jangan menua, Bu. NB: Puisi ini pernah dimuat dalam buku antologi puisi yang berjudul "Kado Untuk Ibu" pada November 2020

(PUISI) GELEBAH

Gambar
 Oleh : Kholis Kurnia Wati Kau kirim aku setangkai mawar biru Penuhi ruangku dengan biru Kau sebut itu penyambutan secara lugu Perayaan sebab benang sari baru Mawar merah lebih menggoda, katamu Daripada biru yang terlihat abu-abu   Gelebah kini tengah merekah Dengan seronok tetap pada betah Kau bilang, jangan berteman dengan pasrah Sebab kumbang terlalu serakah   Kenyataan bahwa bayang mawar tak lagi satu Menukik tajam menjadi rancu Kalopak kaku duripun layu Biar ini jadi belenggu Yang merangkap jadi kelu Lamongan, 5 Februari 2021

(CERPEN) Penantian Sang Senja

Gambar
  Oleh : Kholis Kurnia Wati Pasir di ujung pantai yang begitu kejamnya menghantui hangatnya rasa rindu yang terus mengepul detik demi detiknya. Senja ufuk barat menyapa pantai, menanti sang malam dengan dramatis. Bulan menanti ketidakpastian, menunggu purnama penuh kerinduan esok malam.           Kakinya menyentuh pasir nan lembut. Wajahnya ia   sesakkan dalam tumpukan lengan miliknya. Lembar-lembar naskah imajinasi berlarian diterpa sang angin. Ia biarkan. Ia sudah cukup lelah dengan hidupnya. Belum lagi, semua ini terasa begitu ganjil bagiya. Menunggu, menanti sang waktu mengubah semua. “aku rasa aku sudah cukup lelah untuk waktu yang teramat lama” lirihnya. Angin laut menghembus kaus putih yang ia balut dengan kemeja hijau kotak-kotak pas sekali dengan kulit putih bersihnya. Mata hijau bak elang mengincar santapan malamnya. Rambut hitam legam yang menutupi dahi layaknya anime-anime jepang yang begitu digandrungi.           Lelaki itu merebahkan punggungnya di atas pasir. Mat

(CERPEN) Kawan Perantauanku Yang Terkenal

Gambar
  Oleh : Kholis Kurnia Wati             Sudah hampir setahun kawan perantauanku ini menjadi topik perbincangan seluruh masyarakat. Namanya terpampang diseluruh pojok kota. Menghiasi banner-banner kecil hingga besar. Populer di media sosial hingga nama dan juga gambar dirinya menghiasi istana kepresidenan. Sungguh benar-benar populerkan dia?             Menjadi populer juga pasti ada juga yang membenci bukan? Begitu juga dengan kawan perantauanku yang popular ini. Banyak sekali yang membencinya bahkan menghindarinya. Dengan alasan yang tak masuk akal. Mereka sudah muak dengan kawanku yang memenuhi penjuru kota dan media sosialnya. Sebegitu terkenalkan kawanku ini?             Ia sering muncul di kolom berita hingga menjadi headline hot pada media massa terutama koran. Namanya tercetak jelas, besar dan menggunakan huruf kapital. Ia bahkan mengalahkan selebritis internasional. Namanya menjadi trending akhir-akhir ini. Menjadi berita utama di CNN, wawancara dengan Mata Najwa hingga m

(CERPEN) Penari Yang Ditelan Barisan Bukit

Gambar
                     Oleh : Kholis Kurnia Wati           Menari adalah benih-benih kecil dari kegembiraannya. Jari-jari lentiknya terus bergerak dengan gemulainya mengikuti alunan musik tradisional itu. Dengan wajah ayunya Suri menarikan tarian khas jawa timur itu dengan penuh penghayataan, seolah-olah hidupnya hanya untuk menari saja. Membiarkan seluruh tubuhnya bergerak mengikuti irama tanpa memperdulikan sekitar.             Tak hanya di terotoar jalan maupun di alun-alun kota, suri juga menari diseluruh sudut kota. Hingga ia pun dikenal diseluruh kota bahkan diseluruh penjuru negeri mengenal suri. Sang penari remo kiriman Tuhan, begitulah julukan seluruh penjuru negeri padanya.             Desau-desau gamelan yang bersahut-sahutan dengan alat musik lainnya begitu memenuhi seluruh sudut taman kota. Suri menari-nari di tengah kerumunan orang-orang dengan bebasnya. Seolah-olah hanya dia yang berada di taman kota ini. Tanpa memperdulikan decakan-decakan kagum orang-orang, suri mena