(CERPEN) Penari Yang Ditelan Barisan Bukit
Tak
hanya di terotoar jalan maupun di alun-alun kota, suri juga menari diseluruh
sudut kota. Hingga ia pun dikenal diseluruh kota bahkan diseluruh penjuru
negeri mengenal suri. Sang penari remo kiriman Tuhan, begitulah julukan seluruh
penjuru negeri padanya.
Desau-desau
gamelan yang bersahut-sahutan dengan alat musik lainnya begitu memenuhi seluruh
sudut taman kota. Suri menari-nari di tengah kerumunan orang-orang dengan
bebasnya. Seolah-olah hanya dia yang berada di taman kota ini. Tanpa
memperdulikan decakan-decakan kagum orang-orang, suri menari dengan bebasnya
menciptakan dunianya sendiri. Saat musik menyelesaikan nada terakhirnya saat
itu juga ia menutup tariannya dengan rupawan layaknya penari internassional.
Begitulah
pujian-pujian yang ia terlontar dari para penonton yang melihatnya. Suri
tersenyum membungkukkan badan dengan sopan nan anggun dan bergemuruhlah
tepukan-tepukan riuh memenuhi atmosfer taman kota senja hari ini. Siluet sang
senja menemani suri dalam perjalanan menarinya. Dengan guyuran sinar oranye
sang senja, suri menutup tarian terakhirnya dengan apik .
Suri
terus menari, menari dan menari tanpa kenal lelah. Ia merombak seluruh
sudut-sudut negeri terus mengeksplor kemampuan menarinya. Namun, lambat laun
suri dianggap memberi pengaruh buruk untuk anak-anak. Mereka terus menari tanpa
henti tak ingin beristirahat sedikitpun layaknya suri. Anak-anak itu pun juga
tak memperdulikan orang tua mereka. Yang mereka tahu ialah hanya menari, menari
dan terus menari. Semua penduduk pun marah besar pada suri. Ia dianggap sebagai
wabah yang menyerang anak-anak mereka dan karena suri mereka diacuhkan.
Suri yang mendapat cacian-cacian itu pun hanya diam menatap wajah
geram para penduduk. Ia pun dengan berat hati meninggalkan taman kota itu.
Tempat favoritenya menari dimana ia bisa bertemu banyak sekali anak-anak yang
begitu menyukai tari remonya.
Dengan menyeret kakinya suri
melangkahkan kakinya dengan cukup rasa kekecewaan. Tidak hanya disitu saja,
suri dicaci maki para orang tua di sepanjang jalan yang ia lewati. Mereka terus
menerus meneriaki suri dengan kata-kata kotor juga dengan cemooh mereka yang
menganggap suri sebagai wabah buruk bagi anak-anak mereka.
Teriakan-teriakan itulah yang
menjadi soundtrack suri dalam perjalanannya. Ia sudah berkeliling ke seluruh
penjuru negeri. Namun, tak ada yang mau menerimanya lagi. Tak ada yang ingin
menyaksikan gadis itu menari. Tak sekalipun ada yang menginginkannya menarikan
tarian remo lagi. Ia kini dikucilkan seluruh negeri tak ada yang ingin
berbicara dengannya. Ia seperti wabah penyakit yang perlu dijauhi seluruh
penduduk negeri.. Sebutan ‘sang penari remo kiriman Tuhan’ yang ia sandang
sebelumnya tak lebih dari cacian para penduduk padanya.
Suri yang sudah tak tahan lagi pun
akhirnya ia berteriak-teriak tak jelas layaknya orang frustasi. Para penduduk
pun malah menggangapnya aneh. Berteriak-teriak tak jelas dengan pakaian tarinya
yang begitu norak.
Suri yang semakin dicaci maki pun
akhirnya muak. Dengan ke-frustasiannya ia menuju bukit yang menghadap kota.
Suara gamelan pun menggema diseluruh kota. Menelusup pada seluruh sudut kota.
Seluruh penduduk kota kalang kabut menatap siluet suri yang dengan gemulainya
menarikan tarian jawa timur itu. Tubuhnya terus mengikuti alunan gamelan. Tanpa
peduli lagi cacian penduduk kota. Namun, tiba-tiba suara gemuruh penduduk kota
hilang senyap saat perlahan siluet gadis penari itu hilang perlahan dari atas
bukit. Ia meloncat.
Bunuh diri. Ditelan barisan bukit yang menghadap ke arah kota.
“Bahkan bukit pun tak menginginkan dia lagi,”
Surabaya, 18 November 2019
Komentar
Posting Komentar