(CERPEN) Penari Yang Ditelan Barisan Bukit

 

    
    
        Oleh : Kholis Kurnia Wati

        Menari adalah benih-benih kecil dari kegembiraannya. Jari-jari lentiknya terus bergerak dengan gemulainya mengikuti alunan musik tradisional itu. Dengan wajah ayunya Suri menarikan tarian khas jawa timur itu dengan penuh penghayataan, seolah-olah hidupnya hanya untuk menari saja. Membiarkan seluruh tubuhnya bergerak mengikuti irama tanpa memperdulikan sekitar.

            Tak hanya di terotoar jalan maupun di alun-alun kota, suri juga menari diseluruh sudut kota. Hingga ia pun dikenal diseluruh kota bahkan diseluruh penjuru negeri mengenal suri. Sang penari remo kiriman Tuhan, begitulah julukan seluruh penjuru negeri padanya.

            Desau-desau gamelan yang bersahut-sahutan dengan alat musik lainnya begitu memenuhi seluruh sudut taman kota. Suri menari-nari di tengah kerumunan orang-orang dengan bebasnya. Seolah-olah hanya dia yang berada di taman kota ini. Tanpa memperdulikan decakan-decakan kagum orang-orang, suri menari dengan bebasnya menciptakan dunianya sendiri. Saat musik menyelesaikan nada terakhirnya saat itu juga ia menutup tariannya dengan rupawan layaknya penari internassional.

            Begitulah pujian-pujian yang ia terlontar dari para penonton yang melihatnya. Suri tersenyum membungkukkan badan dengan sopan nan anggun dan bergemuruhlah tepukan-tepukan riuh memenuhi atmosfer taman kota senja hari ini. Siluet sang senja menemani suri dalam perjalanan menarinya. Dengan guyuran sinar oranye sang senja, suri menutup tarian terakhirnya dengan apik .

            Suri terus menari, menari dan menari tanpa kenal lelah. Ia merombak seluruh sudut-sudut negeri terus mengeksplor kemampuan menarinya. Namun, lambat laun suri dianggap memberi pengaruh buruk untuk anak-anak. Mereka terus menari tanpa henti tak ingin beristirahat sedikitpun layaknya suri. Anak-anak itu pun juga tak memperdulikan orang tua mereka. Yang mereka tahu ialah hanya menari, menari dan terus menari. Semua penduduk pun marah besar pada suri. Ia dianggap sebagai wabah yang menyerang anak-anak mereka dan karena suri mereka diacuhkan.

            Suri yang mendapat cacian-cacian itu pun hanya diam menatap wajah geram para penduduk. Ia pun dengan berat hati meninggalkan taman kota itu. Tempat favoritenya menari dimana ia bisa bertemu banyak sekali anak-anak yang begitu menyukai tari remonya.

            Dengan menyeret kakinya suri melangkahkan kakinya dengan cukup rasa kekecewaan. Tidak hanya disitu saja, suri dicaci maki para orang tua di sepanjang jalan yang ia lewati. Mereka terus menerus meneriaki suri dengan kata-kata kotor juga dengan cemooh mereka yang menganggap suri sebagai wabah buruk bagi anak-anak mereka.

            Teriakan-teriakan itulah yang menjadi soundtrack suri dalam perjalanannya. Ia sudah berkeliling ke seluruh penjuru negeri. Namun, tak ada yang mau menerimanya lagi. Tak ada yang ingin menyaksikan gadis itu menari. Tak sekalipun ada yang menginginkannya menarikan tarian remo lagi. Ia kini dikucilkan seluruh negeri tak ada yang ingin berbicara dengannya. Ia seperti wabah penyakit yang perlu dijauhi seluruh penduduk negeri.. Sebutan ‘sang penari remo kiriman Tuhan’ yang ia sandang sebelumnya tak lebih dari cacian para penduduk padanya.

            Suri yang sudah tak tahan lagi pun akhirnya ia berteriak-teriak tak jelas layaknya orang frustasi. Para penduduk pun malah menggangapnya aneh. Berteriak-teriak tak jelas dengan pakaian tarinya yang begitu norak.

            Suri yang semakin dicaci maki pun akhirnya muak. Dengan ke-frustasiannya ia menuju bukit yang menghadap kota. Suara gamelan pun menggema diseluruh kota. Menelusup pada seluruh sudut kota. Seluruh penduduk kota kalang kabut menatap siluet suri yang dengan gemulainya menarikan tarian jawa timur itu. Tubuhnya terus mengikuti alunan gamelan. Tanpa peduli lagi cacian penduduk kota. Namun, tiba-tiba suara gemuruh penduduk kota hilang senyap saat perlahan siluet gadis penari itu hilang perlahan dari atas bukit. Ia meloncat. Bunuh diri. Ditelan barisan bukit yang menghadap ke arah kota.

            “Bahkan bukit pun tak menginginkan dia lagi,”


















Surabaya, 18 November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(CERPEN) Penantian Sang Senja

(PUISI) Surat yang Tak Pernah Ibu Baca