(CERPEN) 2920 Hari

 



Oleh : Kholis Kurnia Wati

     

              Langit abu-abu bergemuruh, berseru bersama angin mendayu-dayukan ribuan tetes air yang luruh dari langit. Banyak orang menyebutnya sebagai Rahmat Tuhan. Ada juga yang mengatakan itu sebuah kesialan. Monolog-monolog manusia memang membingungkan. Seperti langit abu-abu tak menentu.

            Gemercik luruhan tangis sang langit tak hanya menyerbak sebagai berkan ataupun kesialan. Bagi dua orang yang saling tatap di beranda kedai kopi, hujan menjadi penyelamat keduanya dari keheningan. Setidaknya rasa cangung diantara keduanya berkurang sebab berhantamnya air hujan dengan tanah seperti memori klasik yang terulang kembali. Namun dengan situasi yang beda. Jantung yang tak lagi berdebar. Gugup yang tak lagi menghantam dan juga gemetar yang tak lagi menjadi alasan. Mata hitam pekat yang dulu hangat kini hanya tinggal kehampaan dan sangat dingin.

            Sesekali mereka menghela napas kemudia saling pandang. Berharap gemuruh ketika tatapan mata monoloid dan almond bertubrukan itu kembali. Tapi tidak, hanya kehampaan dari mata masing-masinglah yang mereka temukan. Keduanya menghela napas pelan kemudian menarik cangkir kopi yang hampir dingin sebab pemiliknya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rasa ingin meninggalkan beranda kedai kopi sangat tinggi. Mereka tak tahu namanya apa yang melanda hubungan mereka kali ini. Keduanya sudah cukup dewasa untuk menyikapinya. Namun dengan pikiran orang dewasa pun mereka tetap tak memahami situasinya.

            “Kupikir, sudah terlalu lama kita disini,“ Ujar wanita itu.

            Pria itu pun melirik wanita dewasa di depannya. Menaruh atensinya kepada wanita yang sudah delapan tahun ini menjadi rumahnya. Dia masih tetap sama, mata almond dengan sorot tegas hidung bangir yang menukik dan juga bibir merah ranum yang sedikit basah itu. Pria itu kemudian terkekeh pelan. Memang semua hal yang ada pada wanita itu selalu candu dan terus-menerus akan jadi hal yang paling ia sukai setelah senja tentunya.

            “Bisakah kita pulang sekarang?” lirih wanita itu lebih terdengar seperti rengekan kecil.

            Lagi-lagi pria itu terkekeh kemudian berdiri mengeratkan mantel hitamnya dan mengulurkan telapak tangannya pada wanita itu. Bibir tipisnya tertarik pelan, membiarkan wanita itu menangkap senyum hangat dengan mata yang sedikit menyipit.wanita itu tersenyum meraih telapak tangan besar yang menangkup tangan kecilnya. Ia sedikit terkekeh dengan tindakan pria itu. Terlalu mengejutkan, namun tak mampu membuat dadanya berdebar akan tetapi hatinya sedikit mengembang. Ia menundukan kepalanya, terlalu malu ditatap seperti itu oleh sang monoloid.

            “Bisakah kita menghabiskan waktu lagi besok? Tapi tidak dengan situasi yang tadi?“ Ucapnya.

            Pria itu menoleh menatap wanita disampingnya. Mengenggam tangan kecil yang sedikit lebih dingin itu. Wanita itu tidak menoleh, hanya mengangguk pelan menikmati suara sepatu mereka yang berhantaman dengan beton terotoar yang basah. Hujan sudah reda sejak mereka meninggalkan beranda kedai kopi. Meskipun langit masih abu-abu tak menampakkan rembulan dan hanya memancarka keambiguan. Rintik gerimis masih turun menembus udara yang begitu dingin. Dari sana mereka tau masih ada yang hangat dalam hubungan mereka. Genggaman tangan. Benar, genggaman tangan mereka masih hangat seperti biasanya. Dengan perasaan membuncah keduanya mengeratkan genggamannya. Saling mengisi jari-jari yang kosong. Bertaut, bahwa semuanya belum berakhir.

            Sesampainya di halte persimpangan jalan, pria itu berhenti untuk mengucapkan salam perpisahan untuk hari ini. Ia melepaskan genggaman tangannya, membiarkan tangan mungil itu mengudara kemudian jatuh disisi sang empunya. Ia kemudian menunduk. Tangannya meraih pinggang wanitanya dan meraup bibirnya. Itu ciuman terbiasa yang ada pada hidupnya. Dadanya tidak meledak-ledak, perutnya tidak menyemburkan kupu-kupu. Tak ada rasa manis disana. Hanya rasa peach dari lipbalm sang wanita yang ia rasakan.

***

            Senja kini telah menggulung siang. Memaparkan siluet oranye yang tampak serasi dengan gumpalan kapas putih yang menggantung di langit dan terpapar tampak menenangkan. Pukul empat sore, sepasang kekasih itu sudah berada di beranda kedai kopi. Keduanya tengah menikmati jarak yang perlahan mengusik kulit mereka. Cappucino dan Coffe Latte kini tak sedingin kemarin. Keduanya menikmati keheningan dengan musik yang di terdengar dari sound kecil yang berada di sudut beranda kedai kopi.

            Meskipun bukan musim panas keduanya menikmati lagu Wolftyla- All Tinted seolah lagu tersebut adalah gambaran apa yang mereka inginkan saat ini. Lagu yang hangat untuk hubungan yang dingin. Begitulah mereka, membiarkan semua mengalir begitu saja. Hanya berharap pada Tuhan agar mereka diberikan takdir baik.

            “Lagu favoritmu,“ ujar si pria sedikit membenarkan letak duduknya dan tersenyum gugup. Wanita itupun tersenyum. Menumpukan kedua tangannya keatas meja, wajahnya ia majukan sedikit kemudian terkikik pelan kekita melihat si pria yang tergugup dilihatnya dengan mata almond indahnya.

            “Bukankah kau bilang kemarin jika tidak lagi berada dalam situasi yang canggung?“ wanita itu tertawa renyah. Tawanya memenuhi udara sampai ke gendang telinga si pria seperti susunan melodi yang indah. ”Jadi mari habiskan hari ini dan seterusnya dengan situasi yang menyenangkan,“ pekik wanita itu seraya mengacungkan kepalan tangannya tinggi-tinggi ke udara.

            Keduanya kemudian pergi menyusuri kota dengan perasaan membuncah. Hati mereka membengkak bahagia. Menikmati malam di pinggir kota dengan suara gemercik air sungai dan juga kerlap-kerlip kunang-kunang yang beterbangan. Sepasang kekasih itupun berhenti di kedai ramen kecil di pinggir jalan. Membiarkan perut mereka meraung meminta makan memang pilihan terburuk. Apalagi ketika bunyi gemeltuk dari perut si wanita  membuat pipi cherry wanita itu memerah menahan malu. Sungguh, tidak ada hal yang memalukan selain ketika perutmu berteriak meminta makan pada  kencan romantismu!

            “Itu memalukan!“ gumam si gadis.

            Pria itu tergelak sungguh lucu sekali wanita yang katanya sudah dewasa ini.menikmati ramennya dengan perasaan malu memang tidaklah menolong. Ingin rasanya si wanita mengutuk perut tidak tahu malunya. Tapi itu mustahil sebab ia juga sangat menyukai makanan.

            Sepasang kekasih itu kesana-kemari dengan gemuruh tawa yang menggema. Si Pria yang kurang romantis itu malah memberikan Si Wanita bunga rerumputan di pinggir jalan. Ia pikir bunga apapun nantinya akan layu jika dimakan waktu dan membutuhkan banyak waktu. Sedangkan rumput, meskipun ia nantinya akan layu juga tapi mereka juga tumbuh sangat cepat.

            Di senderkannya punggung lelahnya pada punggung kursi. Gadis itu masih terus tersenyum menatap kekasihnya yang kini terdiam menatap layar gawainya. Menatapnya sendu dan tangannya menggengam gawainya dengan erat.

            “Kenapa? Apa ayahmu memukuli ibumu lagi?“ tanya wanita itu dengan hati-hati takut sedikit saja salah memilih kata bisa menyakiti lelakinya.

            Pria itu tidak menjawab hanya keheningan dan juga wajah datarnya seperti kemarin sore. Wanita itu hanya bisa melirik tak berani lagi menguarkan suaranya agar si pria mengalihkan atensinya kepadanya. Ia kemudian menghela napas pelan. Memang pria tak romantis itu tak bisa ditebak. Perlahan mobil pria itupun memasuki pekarangan yang begitu asing bagi wanita itu dan menenteng satu buket bunga aster putih. Apa ada wanita lain yang akan ditemui pria itu?

            “Apa kau memiliki kekasih baru?” lirih wanita itu. Namun diabaikan oleh si pria.

            Pikiran gadis dewasa itu pun berkecamuk memikirkan siapa gadis yang akan ditemuinya di tempat yang sangat tidak nyaman ini. Apa sikapnya beberapa hari lalu adalah pertanda bahwa lelakinya mulai bosan dengan hubungan datar mereka. Pria itu kemudian berhenti dan bersimpuh pada sebuah gundukan tanah. Membiarkan bunga aster putih itu bertengger apik diatasnya. Matanya sudah tak sanggup lagi menahan genangan di pelupuk matanya.

            Wanita itu kemudian mendekat ke arah pria itu. Sedikit sakit melihat kekasihnya menangisi gadis lain tepat dihadapannya. Ia pun mulai mendekat kearah pria itu bersimpuh. Namun tiba-tiba gadis itu berhenti ketika matanya menangkap ada yang aneh pada pahatan batu itu.

            “Sudah seratus hari. Aku pikir sudah saatnya aku melepasmu,” lirih pria itu menunduk menatap sebuah pemakaman yang telah ditumbuhi rumput hijau itu.

            Seketika gadis itu seperti dihantam berton-ton beton hingga membuatnya tak kuasa lagi menahan tangisnya. Itu namanya. Tubuhnya ambruk ditanah. Matanya terus saja menatap prianya yang menatap batu dengan pahatan namanya diatasnya. Lalu ia hampir saja tersedak dengan tangisnya sendiri ketika ia mengetahui apa yang terjadi pada dirinya saat ini.

            “Aku hanya mengulangnya, tepat di duaribusembilanratusduapuluh hari jadi kita,” lirih gadis itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Lamongan, 19 Februari 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(CERPEN) Penari Yang Ditelan Barisan Bukit

(CERPEN) Penantian Sang Senja

(PUISI) Surat yang Tak Pernah Ibu Baca