(CERPEN) Penantian Sang Senja
Oleh : Kholis Kurnia Wati
Pasir
di ujung pantai yang begitu kejamnya menghantui hangatnya rasa rindu yang terus
mengepul detik demi detiknya. Senja ufuk barat menyapa pantai, menanti sang
malam dengan dramatis. Bulan menanti ketidakpastian, menunggu purnama penuh
kerinduan esok malam.
Kakinya menyentuh pasir nan lembut.
Wajahnya ia sesakkan dalam tumpukan
lengan miliknya. Lembar-lembar naskah imajinasi berlarian diterpa sang
angin. Ia biarkan. Ia sudah cukup lelah dengan hidupnya. Belum lagi, semua ini
terasa begitu ganjil bagiya. Menunggu, menanti sang waktu mengubah semua.
“aku rasa aku sudah cukup lelah untuk
waktu yang teramat lama” lirihnya.
Angin laut menghembus kaus putih yang ia
balut dengan kemeja hijau kotak-kotak pas sekali dengan kulit putih bersihnya.
Mata hijau bak elang mengincar santapan malamnya. Rambut hitam legam yang
menutupi dahi layaknya anime-anime jepang yang begitu digandrungi.
Lelaki itu merebahkan
punggungnya di atas pasir. Matanya tertutup rapat, Kristal meleleh begitu saja
dari ujung matanya. “Aku lemah, Tuhan” gumamnya. Di depannya, pangung sandiwara
terus berputar. Dimana, ia yang menjadi lakon utama. Padahal, beberapakali ia
memohon pada sang pencipta untuk kali ini menjadi penikmat terlihat begitu
baik. Bukan lagi tokoh protagonis
yang dipermaikan alur cerita itu sendiri.
Empat tahun silam setelah kehilangan
kedua orangtua juga kakaknya menjadi pukulan telak baginya. Ia hidup seorang diri
dengan naskah imaji yang menumpuk. Naskah imaji yang beberapa kali ditolak,
mereka yang tak begitu paham betul tentang imajinya. Untuk kali ini ia
terpental ke dasar, melewati batas wajarnya. Hatinya terkelupas oleh cacian, pikirnya
melumer karena takdir.
Ingatannya jatuh pada
beberapa tahun lalu, seseorang inspirasi imaji yang ia perbuat. Ruh rindu yang
tak dapat tersampaikan teruntuk seseorang yang terus menguatkan dirinya
menenagkan hatinya juga mendorong mentalnya agar tak tersungkur ketika dimana ia
kehilangan semua. Kini ia
tersadar, kebodohannya membuat semuanya lolos begitu saja didepan matanya.
Di ujung dermaga, gadis berambut sebahu
menghadap senja ujung barat yang ditelan sang malam. Lelaki itu terkesiap,
layakya déjà vu yang mengantar dirinya ke beberapa tahun silam. Pesawat kertas
berhasillolos dari jari lentik si gadis. Meninggalkan dermaga menjauhi ujung
pantai. Gadis itu tersenyum tatkala pesawat kertas miliknya mengambang di atas
air. Ia tau betul apa yang akan terjadi pada pesawat naas itu. Terambing di
laut bebas, menentukan sendiri bagaimana takdirnya. Kembali ke dasar atau
menepi ke ujung pantai.
Keenan, nama laki-laki itu. Pikirnya bak
piringan hitam klasik yang ia putar kembali. Tentang senja, tentang
pesawat kertas juga tentang gadis yang mulai menjauhi dermaga itu. Ia menatap
lekat pungung gadis itu. Berharap ia berbalik kemudian menatap mata indah gadis
dermaga.
Esoknya keenan kembali ke pantai di sudut
kota. Dengan sneakers musim panas juga setelan kaus berbalut kemeja hitam kotak-kotak.
Stylenya masih sama tak ada yang berubah. Lelaki blasteran itu menunggu gadis
senja kemarin. Menanti dengan dada yang bergemuruh. Kertas-kertas yang
ia tatap kini telah penuh dengan bolpoint hitam. Penuh dengan pujian tentang
gadis senja.
Jantungnya hendak meloncat
ketika tiba-tiba gadis itu didepannya. Ia tersenyum, matanya memebentuk sabit
yang begitu indah. Pipinya yang agak kemerahan, manis sekali. Keenan terdiam
menatap gadis yang nyaris tanpa celah itu.
“Siapa kau?” keenan takut-takut.
“apa kau lupa denganku? Aku pembaca
setiamu!” begitu semangatnya gadis itu
“jangan berhenti, keen. Lantas apa yang
ku baca jika author favoritku tak menulis lagi” ujar gadis itu. Keenan terpaku,
ucapan gadis itu begitu familiar pada pendegarannya.
“aku pernah mendengar kata-kata itu
sebelumnya” keenan berucap bingung. Gadis
itu mengangguk kemudian menatap ombak yang perlahan mendekat.
“memang
seperti itulah realitanya” balas gadis itu. Sepersekian detik kemudian ia
menutup mata keenan. Gelap.
Lelaki itu terbangun langit senja
telah berebut malam. Di samping bolpoint
juga naskah imajinya sebuah pesawat kertas tergolek di atas pasir. Ia
memungutnya kemudian membukanya.
Aku menunggu
dengan ketidak adanya wujud itu sendiri. Aku selalu di
sampingmu, keenan. Veranda ^^ |
Mata
hijaunya teredar ke seluruh penjuru pantai. Mencari-cari gadis itu, gadis senja
yang begitu ia rindukan beberapa tahun ini. Mata hijaunya terutup rapat,
kepalanya tertunduk dalam. Gadis itu disampingnya, ia tak begiu menyadari akan
hal itu.
“benar kau disampingku, aku merindukanmu.
Ini menyedihkan, Veranda………”
Komentar
Posting Komentar